Minggu, 17 Mei 2015

Sekali Lagi Tentang Beras


Kondisi perberasan kita saat ini semakin mengkhawatirkan saja. Beras agaknya masih merupakan makanan pokok sebagian masyarakat  Indonesia yang jumlahnya terus meningkat. Berdasarkan pola makan masyarakat, saat ini kebutuhan beras masyarakat Indonesia masih sebesar 316 gram/kapita/hari atau 115,34 kg/kapita/tahun.  Untuk tahun 2015 ini, dengan perhitungan jumlah penduduk 247,572,400 jiwa, maka kebutuhan beras kita sebesar kita setahun untuk konsumsi sebesar 28,555,000 ton. Ditambah untuk cadangan nasional sebesar 10 juta ton, maka kebutuhan beras nasional kita tahun ini menjadi sebesar 38.555.000 ton.
Areal pertanaman padi kita seluas 13.500.000 ha pertahun. Dengan produktifitas 5,4 ton/ha gabah kering panen (GKP) atau beras 2,81 ton/ha, maka produksi beras kita saat ini adalah 37.900.000 ton/tahun. Dari posisi kebutuhan dan produksi itu, maka hingga saat ini kita masih kekurangan (defisit) beras sebesar 655ribu ton. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk yang diprediksi sebesar 1,5%/tahun, maka  kebutuhan beras akan terus bertambah lebih dari 578 ribu ton/tahun, sehingga harus ada peningkatan produksi lebih dari 1,233 juta atau dibulatkan menjadi 1,25 juta ton/tahun.

Untuk peningkatan produksi 1,25 juta/tahun itu, kalau masih pada pertanaman padi rakyat, maka perlu ada peningkatan produktifitas padi di 13.500.000 ha, sebesar 92,6 kg atau dibulatkan menjadi 100 kg/ha. Peningkatan yang tidak terlalu besar untuk saat ini, namun dengan berbagai hambatan yang ada, tidak mudah mencapainya. Namun kalau peningkatan itu terus bertambah setiap tahunnya, maka hingga lima tahun kedepan (2019), produktifitas padi kita harus bertambah 0,5 ton/ha menjadi 5,9 ton/ha (GKP). Upaya yang harus dilakukan adalah adanya perbaikan teknologi budidaya yang diterapkan petani dan melengapinya dengan prasarana dan sarana produksi yang diperlukan.

Analisa usahatani padi dan pendapatan keluarga petani.

Dari sisi usahatani, padi merupakan tanaman konvensional yang telah lama diusahakan petani. Karena terlalu lamanya petani menanam padi, seolah-oleh tanaman padi sudah mennjadi “jiwa”nya para petani, hingga mereka tidak pernah menghitung untung dan ruginya. Kata “pokoke” kalau namanya bertani itu ya padi, itu yang sering muncul dalam dialog-dialog dengan para petani. Posisi padi sebagai “Dewi Sri” di Jawa ikut memperkuat hubungan mesra antara petani dan padi. Dari berbagai daerah sentra produksi padi diperoleh data analisa usaha padi setiap hektarnya, untuk biaya budidaya, olah tanah hingga panen Rp14.696.167,- dibulatkan menjadi Rp14.700.000,-. Hasil panen berupa beras 2.810.000 kg, kalau dijual dengan harga Rp7.600,-/kg, akan diperoleh hasil kotor Rp21.356.000,-. Dengan begitu  laba petani setiap hektarselama 4 bulan sebesar Rp6.656.000,-, sehingga laba petani tiap bulan menjadi Rp6.656.000,- : 4= Rp1.664.000,-. Bagi petani yang memiliki lahan 1 ha saja, laba yang dapat “dimakan” hanya Rp1.664.000,-/bulan itu jelas jauh dibawah kewajaran. Sementara itu rata-rata pemilikan/garapan petani kita adalah 0,3 ha/rumah tangga,sehingga dengan menanam padi, rata-rata pendapatan keluarga petani kecil itu adalah, 0.3 ha x Rp1.664.000,- =Rp 499.200,-/bulan.

Berdasarkan data yang dikeluarkan BPS tahun 2013, bahwa sebuah keluarga kecil dengan anggota 4 orang, untuk hidup wajar, dibutuhkan biaya minimal Rp3,2 juta/bulan didesa/kota kecil; Rp5,6 juta/bulan dikota sedang dan Rp7,5 juta/bulan dikota besar. Dari analisa diatas, posisi petani padi yang yang selama ini menjadi “mesin produksi” beras sangat menyedihkan. Petani yang memiliki lahan 1 ha saja, pendapatan bersih mereka hanya Rp1,66 juta/bulan, atau hanya 50% dari biaya hidup minimal paling rendah setiap bulan yang dikeluarkan BPS.  Akibatnya konsumsi mereka tidak wajar atau seadanya yang menyebabkan keluarga mereka, anak-anak mereka, kekurangan gizi. Mereka juga sangat kesulitan untuk membiayai pendidikan yang lebih baik bagi anak-anaknya.Bagi petani yang rata-rata pemilikan lahannya 0,3 ha/keluarga, jauh lebih menyedihkan lagi. Karena pendapatan bersih mereka hanya Rp499.200,-/bulan, atau 15,6% dari biaya hidup minimal paling rendah setiap bulan yang dikeluarkan BPS, maka mereka pasti kondisinya jauh lebih buruk dari petani yang memiliki lahan 1 ha.Agar petani padi paling tidak memperoleh pendapatan inimal Rp3,2 juta/bulan, mereka harus memiliki lahan usahatani seluas 1,93 ha atau dibulatkan menjadi 2 ha/keluarga tani. Untuk itu, sesuai dengan semangat dan tujuan pembangunan ekonomi masyarakat petani seperti yang disampaikan Jokowi mulai saat kampanye hingga berbentuk program Nawacita, masalah perberasan nasional ini perlu ada “revolusi” yang mendasar.

Beberapa kemungkinan untuk pengusahaan padi nasional.

Untuk  memperbaiki usahatani petani, sekaligus meningkatkan pendapatannya, maka pemerintah harus kembali menjalankan sistem ekonomi berdasarkan UUD 1945 pasal 33 yang menempatkan petani sebagai soko guru pertanian Indonesia. Pembaruan agraria berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 perlu dilaksanakan. Untuk itumaka harus ada (1) pembagian tanah dan benih untuk petani, (2) menegakkan kedaulatan pangan, (3) menghidupkan kembali koperasi dan (4) memerankan BUMNuntuk mendukung perekonomian Indonesia.

Namun demikian, agar pembangunan pertanian, khususnya program produksi padi ini tidak membuat petani kecil (petani gurem) dalam “jebakan kemiskinan” yang berkepanjangan, maka perlu ada revolusi pola pembangunan pertanian pada umumnya termasuk produksi padi. Petani gurem adalah rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar, jumlahnya 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 % dari sekitar 26 juta rumah tangga pertanian (BPS). Belum ada data tentang petani yang memiliki lahan pertanian lebih dari 2 ha, yang bisa layak untuk hidup bila harus menanam padi. Tetapi diprediksi hanya sekitar 15% saja, atau hanya sekitar 3,9 juta. Artinya, petani (padi) yang perlu diperhatikan tingkat pendapatannya bukan hanya 14,25 juta, tetapi ada 22,1 juta rumah tangga. Untuk  memperbaiki usahatani petani gurem tersebut, memetik amanat UUD 1945 pasal 33 yang menempatkan petani sebagai soko guru pertanian Indonesia. Pembaruan agraria berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960, khususnya untuk hal pembagian tanah dan benih untuk petani, untuk mendukung perekonomian Indonesia, ada beberapa situasi yang perlu dipahami dan kemungkinan upaya memperbaikinya.(a). pembagian tanah dan benih untuk petani. Istilah “membagi tanah pertanian minimal 2 ha kepada 22,1 juta rumah tangga agaknya tidak mungkin, karena berdasarkan data BPS, lahan yang potensial untuk dibuka menjadi sawah di Indonesia hanya tinggal 6,4 juta ha. Dari jumlah itu, 14,25 juta diantaranya pemilikannya rata-rata 0,3 ha. Pembagian tanah seperti ini dapat dilakukan secara selektif, khususnya kepada petani kecil yang pemilikannya kurang dari 0,5 ha dengan model transmigrasi. Kemudian diikuti dengan pengelolaan secara kooperatif atau usahatani kawasan dilahan baru sehingga produktifitas tinggi dan pendapatan lebih baik.(b). Membagi benih untuk petani.Lahan padi kita setahun seluas 13,5 juta ha. Butuh benih 20 kg/ha  atau sebesar 270.000 ton.  Selama ini penggunaan benih bermutu sangat rendah sehingga menyebabkan produktifitas padi kita juga rendah. Benih padi bermutu pada dasarnya dapat diproduksi sendiri oleh kelompok tani dibawah bimbingan petugas pertanian. Jadi bantuan benih petani tidak lagi berupa benih sebar (ES), tetapi berupa benih pokok (SS) kepada kelompok tani. Setiap desa yang luas sawahnya sekitar 400 ha tanaman padi, cukup diselenggarakan 2 ha kebun benih padi desa (KBD) dengan bantuan benih SS dari pemerintah cukup 40 kg.(c). Mengubah format pemilikan lahan pertanian.Ada 14,25 juta rumah tangga yang rata-rata pemilikannya 0,3 ha. Lahan yang dikuasai 14,25 rumah tangga tersebut seluas 4.275.000 ha. Agar setiap rumah tangga mengelola rata-rata 2 ha, lahan yang ada itu sebaiknya hanya dikelola oleh 2.137.500 rumah tangga. Artinya harus ada 12.112.500 keluarga yang harus keluar dari sektor pertanian.Untuk itu harus tersedia lapangan kerja diluar sector pertanian bagi 12,112.500 kepala keluarga itu.Ketua Bappenas memproyeksikan sampai dengan tahun 2014 akan tercipta 9,4 juta lapangan kerja, yang meliputi sektor industri sebesar 4.731.770, dan kegiatan pendukung untuk sektor infrastruktur sebesar 4.975.400.Namun  sektor itu tidak dapat serta-merta menyerap “mantan” petani gurem itu karena memerlukan syarat khusus yang belum tentu dapat dipenuhi. (d). Menegakkan kedulatan pangan.Hal yang sangat urgen dari kedaulatan pangan adalah ketersediaan dan keterjangkauan pangan bagi seluruh masyarakat seperti yang diamanatkan pada UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Ketersediaan dan keterjangkauan menjadi tanggungjawab pemerintah melalui kepiawaian dan kebijakannya dalam melakukan produksi dan pengaturan distribusi. Bukan dengan cara-cara “memaksa” petani kecil memproduksi beras dengan mengabaikan pendapatannya yang rendah dan hidup dibawah kewajaran.

Perubahan pola penggunaan lahan pertanian sawah.

Lahan pertanian sawah kita terdiri dari dari lahan datar dan lahan berteras.Dalam rangka peningkatan produktifitas padi sekaligus peningkatan pendapatan petani, perlu ada perubahan besar dan cepat (revolusi) penggunaan lahan sawah.Diperkirakan lahan sawah datar dan berteras dengan kemiringan kurang dari 5% berjumlah 60% dari sawah yang ada atau seluas 4,1 juta ha. Saat ini penggunaan lahan sawah diberbagai kawasan, apapun kondisinya didominasi oleh padi yang secara usahatani “kurang menguntungkan” petani.

Konsep yang lebih “masuk akal” dalam pemanfaatan lahan sawah perlu diperkenalkan kepada semua pihak. Sawah datar hingga kemiringan kurang dari 5%, beriirigasi teknis, layak untuk budidaya padi 2 (dua) kali setahun, dan sekali untuk palawija Kedelai/Jagung/Kacang2an.  Belum ada data yang akurat, sehingga perlu akurasi data. Diperkirakan luasnya sekitar 3 juta ha.Budidaya dilaksanakan dengan paket teknologi spesifik disetiap kawasan yang memiliki agroklimat sama, menggunakan mekanisasi penuh mulai dari pengolahan tanah, penanaman hingga panen dan pasca panen.Sasaran produktifitas rata-rata 6,5 ton GKP atau 3,5 ton beras/ha, sehingga akan diperoleh produksi : 2 x 4,1 juta ha x 3,5 ton beras = 28,7 juta ton beras/tahun.

Lahan sawah berteras dengan kemiringan lebih dari 5% jumlahnya diperkirakan sebesar 40% atau 2,7 juta ha. Lahan seperti ini hingga dataran tinggi, tidak layak untuk komoditi padi, karena tidak dapat dilaksanakan mekanisasi secara penuh sehingga produksi sulit ditingkatkan dan petani kecil yang mengelola akan “terus miskin”. Komoditi yang layak untuk tanah miring adalah hortikultura (buah dan sayur) dikombinasi dengan ternak sapi potong, kambing/domba dan atau komoditi perkebunan yang terintegrasi dengan industri pengolahan. Jenis komoditi buah yang direkomendasi adalah jenis yang diorientasikan untuk menekan import seperti Klengkeng, Durian, Jeruk, Anggur dan 9 jenis buah lain yang masih import. Jenis buah lain seperti Manggis, Mangga dan lainnya yang berpotensi eksport juga dikembangkan dilahan miring dan petani kecil.  Dengan mengusahakan buah seperti Klengkeng, Durian atau buah lain sesuai potensi pasar, dikombinasi dengan beternak sapi potong atau ternak lain, petani yang memiliki lahan 0,3 ha, tiga tahun setelah program dimulai, pendapatan petani mencapai lebih dari Rp3,5 juta/bulan. Pada tahun ke-9 pendapatannya dapat mencapai Rp 8,5 juta/bulan.  Ini artinya mereka sudah tidak miskin.

Untuk menutup kekurangan produksi beras yang diusahakan petani dataran rendah sebesar 9.855.000 ton, pemerintah harus melakukan langkah-langkah revolusioner dengan menugaskan BUMN menanam padi dan memproduksi beras. Pertimbangannya, BUMN adalah perusahaan pemerintah. Sesuai dengan amanat UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pemerintah berkewajiban menyediakan pangan yang layak dan terjangkau. Artinya, ada jaminan ketersediaan dan keterjangkauan bagi masyarakat konsumen. Namun, pemerintah juga memiliki kewajiban meningkatkan pendapatan masyarakat tani agat tidak miskin. BUMN layak memikul tanggungjawab dan tugas itu.Lahan “rice estate”dilahan pertanian yang masih potensial untuk dibuka menjadi sawah yang luasnya masih 6,4 juta hektar (BPS), sebagian besar ada diluar Jawa. Kawasan yang potensial untuk sawah itu diantaranya ada di Papua, sehingga akan menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi didaerah Indonesia timur. Pelaksanaan “rice estate”menggunakan pola pertanian modern yang seluruhnya berteknologi, mekanisasi, efisien dan produktifitas tinggi minimal 4,5 ton beras/ha. Untuk memperoleh produksi 9.855.000 ton, perlu dibuka lahan “rice estate”seluas 616.000 ha pada lahan baru.Selain BUMN, daerah menugaskan BUMD memproduksi beras.

Gudang Beras dan Cadangan Pangan.

Cadangan pangan diperlukan karena Indonesia masih menganut pola produksi musiman. Ada Panen raya ada panen kecil atau paceklik. Sementara orang makan (beras) berlangsung sepanjang tahun. Ada dua pola cadangan pangan yang harus dibangun agar kebutuhan pangan dapat terpenuhi tanpa harus timbul gejolak. 1). Gudang petani.Beras diproduksi dan berada ditangan petani, petani juga konsumen beras. Disetiap desa perlu dibangun “gudang beras” atau “lumbung pangan” yang berfungsi menampung beras petani saat panen, dan mengeluarkannya atau mendistribusikannya kemasyarakat konsumen sesuai dengan kebutuhan.Gudang beras/lumbung pangan dikelola oleh BUMDesa. Dipasok kepasar eceran sehingga petani memperoleh harga lebih baik.Selama petani menyimpan berasnya di lumbung pangan, kebutuhan finansial petani dicukupi lebih dulu oleh lembaga keuangan yang dibentuk oleh BUMDesa. Hingga saatnya beras dijual, diperhitungkan dan dikuraangi dengan “uang muka” yang telah diterima petani.2). Gudang pemerintah.Gudang pemerintah dibangun oleh pemerintah pusat sebagai cadangan pangan nasional dan pemerintah daerah sebagai cadangan panangan daerah.Gudang pemerintah diisi sebagai cadangan pangan untu disalurkan kekonsumen sesuai dengan kebutuhan secara teratur.Gudang pemerintah pusat diisi dengan produksi beras BUMN dan BUMD mengisi gudang cadangan pemerintah daerah. Distribusi beras gudang milik pemerintah dilakukan saat harga beras dipasar mengalami harga tinggi diatas batas kewajaran.

Peningkatan pendapatan petani dan kedaulatan pangan, khususnya swasembada beras adalah dua hal yang sama pentingnya. Peningkatan produksi beras dalam rangka swasembada tidak boleh mengorbankan petani. Dalam rangka meningkatkan pendapatan petani dan kemandirian pangan, produksi padi petani diprioritaskan dilahan sawah dataran rendah. Sementara lahan pertanian dilahan miring difokuskan untuk produksi hortikultura dan ternak yang memiliki tingkat pendapatan lebih baik.

Peran BUMN dan BUMD dalam memproduksi beras menjadi penting dalam rangka memenuhi kebutuhan beras nasional, sekaligus menghindari petani kecil terus dalam keadaan miskin karena menanam padi. Sekiranya produksi beras oleh BUMN di Indonesia timur seperti di Papua dapat segera dimulai, dalam dua-tiga tahun kedepan tentu produksi sudah mampu menutup kebutuhan nasional. Pada lahan yang sama, mestinya juga dapat dikembangkan Kedelai yang butuh peningkatan produksi untuk menekan import. Multiplier effeect lain dari pengembangan sentra produksi beras dan kedelai di Indonesia timur adalah hidupnya jasa transport laut dari Indonesia timur kebarat yang selama ini kurang muatan, sehingga menjadi mahal.

Petani kecil sebaiknya diarahkan mulai fokus untuk usahatani hortikultura, peternakan dan perkebunan yang dikelola dengan pola usahatani terpadu kawasan, agar petani kecil meningkat pendapatannya. Komoditi hortikultura yang sebagian bersifat mudah rusak (perishable) harus diusahakan berkoneksi dengan pasar, sehingga yang diproduksi sesuai dengan kebutuhan pasar, menyangkut jumlah setiap hari, jenis dan mutunya. Dikawasan hortikultura juga memungkinkan dibuka industri pengolahan yang selamam ini belum tumbuh. Komoditi hortikultura dan ternak harus diusahakan dalam rangka menekan import.  Itu semua merupakan jalan terbaik dalam rangka mencapai kedaulatan pangan, peningkatan pendapatan masyarakat petani dan kesejahteraan masyarakat.


Jakarta, 16 Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar