Kondisi perberasan kita saat ini semakin mengkhawatirkan saja. Beras agaknya masih merupakan makanan pokok sebagian masyarakat Indonesia yang jumlahnya terus meningkat. Berdasarkan pola makan masyarakat, saat ini kebutuhan beras masyarakat Indonesia masih sebesar 316 gram/kapita/hari atau 115,34 kg/kapita/tahun. Untuk tahun 2015 ini, dengan perhitungan jumlah penduduk 247,572,400 jiwa, maka kebutuhan beras kita sebesar kita setahun untuk konsumsi sebesar 28,555,000 ton. Ditambah untuk cadangan nasional sebesar 10 juta ton, maka kebutuhan beras nasional kita tahun ini menjadi sebesar 38.555.000 ton.
Areal pertanaman padi kita seluas 13.500.000
ha pertahun. Dengan produktifitas 5,4 ton/ha gabah kering panen (GKP) atau
beras 2,81 ton/ha, maka produksi beras kita saat ini adalah 37.900.000
ton/tahun. Dari posisi kebutuhan dan produksi itu, maka hingga saat ini kita
masih kekurangan (defisit)
beras sebesar 655ribu ton. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk yang
diprediksi sebesar 1,5%/tahun, maka
kebutuhan beras akan terus bertambah lebih dari 578 ribu ton/tahun,
sehingga harus ada peningkatan produksi lebih dari 1,233 juta atau dibulatkan
menjadi 1,25 juta ton/tahun.
Untuk peningkatan produksi 1,25
juta/tahun itu, kalau masih pada pertanaman padi rakyat, maka perlu ada peningkatan
produktifitas padi di 13.500.000 ha, sebesar 92,6 kg atau dibulatkan menjadi
100 kg/ha. Peningkatan yang tidak terlalu besar untuk saat ini, namun dengan
berbagai hambatan yang ada, tidak mudah mencapainya. Namun kalau peningkatan itu terus
bertambah setiap tahunnya, maka hingga lima tahun kedepan (2019), produktifitas
padi kita harus bertambah 0,5 ton/ha menjadi 5,9 ton/ha (GKP). Upaya yang harus
dilakukan adalah adanya perbaikan teknologi budidaya yang diterapkan petani dan
melengapinya dengan prasarana dan sarana produksi yang diperlukan.
Analisa usahatani padi dan pendapatan
keluarga petani.
Dari sisi usahatani,
padi merupakan tanaman konvensional yang telah lama diusahakan petani. Karena
terlalu lamanya petani menanam padi, seolah-oleh tanaman padi sudah mennjadi
“jiwa”nya para petani, hingga mereka tidak pernah menghitung untung dan
ruginya. Kata “pokoke” kalau namanya
bertani itu ya padi, itu yang sering muncul dalam dialog-dialog dengan para
petani. Posisi padi sebagai “Dewi Sri” di Jawa ikut memperkuat hubungan mesra
antara petani dan padi. Dari berbagai
daerah sentra produksi padi diperoleh data analisa usaha padi
setiap hektarnya, untuk biaya
budidaya, olah tanah hingga panen Rp14.696.167,- dibulatkan menjadi
Rp14.700.000,-. Hasil
panen berupa beras 2.810.000 kg, kalau dijual
dengan harga Rp7.600,-/kg, akan diperoleh hasil kotor Rp21.356.000,-. Dengan
begitu laba petani setiap
hektarselama 4 bulan sebesar Rp6.656.000,-, sehingga laba petani tiap bulan menjadi Rp6.656.000,- : 4= Rp1.664.000,-. Bagi petani
yang memiliki lahan 1 ha saja, laba yang dapat “dimakan” hanya
Rp1.664.000,-/bulan itu jelas jauh dibawah kewajaran. Sementara itu rata-rata pemilikan/garapan petani
kita adalah 0,3 ha/rumah tangga,sehingga dengan menanam padi, rata-rata
pendapatan keluarga petani kecil itu adalah, 0.3 ha x Rp1.664.000,- =Rp 499.200,-/bulan.
Berdasarkan
data yang dikeluarkan BPS tahun 2013, bahwa sebuah keluarga kecil dengan
anggota 4 orang, untuk hidup wajar, dibutuhkan biaya minimal Rp3,2 juta/bulan
didesa/kota kecil; Rp5,6 juta/bulan dikota sedang dan Rp7,5 juta/bulan dikota
besar. Dari analisa diatas, posisi petani padi yang yang selama ini menjadi
“mesin produksi” beras sangat menyedihkan. Petani yang memiliki lahan 1 ha
saja, pendapatan bersih mereka hanya Rp1,66 juta/bulan, atau hanya 50% dari biaya hidup minimal paling
rendah setiap bulan yang dikeluarkan BPS.
Akibatnya konsumsi mereka tidak wajar atau seadanya yang menyebabkan
keluarga mereka, anak-anak mereka, kekurangan gizi. Mereka juga sangat
kesulitan untuk membiayai pendidikan yang lebih baik bagi anak-anaknya.Bagi
petani yang rata-rata pemilikan lahannya 0,3 ha/keluarga, jauh lebih
menyedihkan lagi. Karena pendapatan bersih mereka hanya Rp499.200,-/bulan, atau
15,6% dari biaya hidup minimal paling rendah setiap bulan yang dikeluarkan BPS,
maka mereka pasti kondisinya jauh lebih buruk dari petani yang memiliki lahan 1
ha.Agar petani padi
paling tidak memperoleh pendapatan inimal Rp3,2 juta/bulan, mereka harus
memiliki lahan usahatani seluas 1,93 ha atau dibulatkan menjadi 2 ha/keluarga
tani. Untuk itu, sesuai dengan semangat dan tujuan pembangunan ekonomi
masyarakat petani seperti yang disampaikan Jokowi mulai saat kampanye hingga
berbentuk program Nawacita, masalah perberasan nasional ini perlu ada
“revolusi” yang mendasar.
Beberapa kemungkinan untuk
pengusahaan padi nasional.
Untuk
memperbaiki usahatani petani, sekaligus meningkatkan pendapatannya, maka
pemerintah
harus kembali menjalankan sistem ekonomi berdasarkan UUD 1945 pasal 33 yang
menempatkan petani sebagai soko guru
pertanian Indonesia. Pembaruan agraria berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) No. 5 tahun 1960 perlu dilaksanakan. Untuk itumaka harus ada (1) pembagian tanah
dan benih untuk petani, (2) menegakkan kedaulatan pangan, (3) menghidupkan kembali koperasi dan (4) memerankan BUMNuntuk mendukung
perekonomian Indonesia.
Namun demikian, agar pembangunan
pertanian, khususnya program produksi padi ini tidak membuat petani kecil
(petani gurem) dalam “jebakan kemiskinan” yang berkepanjangan, maka perlu ada
revolusi pola pembangunan pertanian pada umumnya termasuk produksi padi. Petani gurem adalah rumah tangga
pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar, jumlahnya
14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 % dari sekitar 26 juta rumah tangga pertanian
(BPS). Belum ada data tentang petani yang memiliki lahan pertanian lebih dari 2
ha, yang bisa layak untuk hidup bila harus menanam padi. Tetapi diprediksi
hanya sekitar 15% saja, atau hanya sekitar 3,9 juta. Artinya, petani (padi)
yang perlu diperhatikan tingkat pendapatannya bukan hanya 14,25 juta, tetapi
ada 22,1 juta rumah tangga. Untuk memperbaiki usahatani petani gurem tersebut,
memetik amanat UUD 1945 pasal 33 yang menempatkan petani
sebagai soko guru pertanian
Indonesia. Pembaruan agraria berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.
5 tahun 1960, khususnya untuk hal pembagian
tanah dan benih untuk petani, untuk mendukung perekonomian Indonesia, ada
beberapa situasi yang perlu dipahami dan kemungkinan upaya memperbaikinya.(a). pembagian tanah dan benih untuk petani.
Istilah “membagi tanah”
pertanian minimal 2 ha kepada 22,1 juta rumah tangga
agaknya tidak mungkin, karena berdasarkan data BPS, lahan yang potensial untuk
dibuka menjadi sawah di Indonesia hanya tinggal 6,4 juta ha. Dari jumlah itu, 14,25 juta diantaranya pemilikannya rata-rata 0,3 ha. Pembagian tanah
seperti ini dapat dilakukan secara
selektif, khususnya kepada petani kecil yang pemilikannya kurang dari 0,5 ha
dengan model transmigrasi. Kemudian diikuti dengan pengelolaan secara
kooperatif atau usahatani kawasan dilahan baru sehingga produktifitas tinggi
dan pendapatan lebih baik.(b). Membagi benih
untuk petani.Lahan padi kita setahun seluas 13,5 juta ha.
Butuh benih 20 kg/ha atau sebesar
270.000 ton. Selama ini penggunaan benih
bermutu sangat rendah sehingga menyebabkan produktifitas padi kita juga rendah.
Benih padi bermutu pada dasarnya dapat diproduksi sendiri oleh kelompok tani
dibawah bimbingan petugas pertanian. Jadi bantuan benih petani tidak lagi
berupa benih sebar (ES), tetapi berupa benih pokok (SS) kepada kelompok tani.
Setiap desa yang luas sawahnya sekitar 400 ha tanaman padi, cukup
diselenggarakan 2 ha kebun benih padi desa (KBD) dengan bantuan benih SS dari
pemerintah cukup 40 kg.(c). Mengubah format pemilikan lahan pertanian.Ada
14,25 juta rumah tangga yang rata-rata
pemilikannya 0,3 ha. Lahan yang dikuasai 14,25 rumah tangga tersebut seluas
4.275.000 ha. Agar setiap rumah
tangga mengelola rata-rata 2 ha, lahan yang ada itu sebaiknya
hanya dikelola oleh 2.137.500 rumah tangga. Artinya harus ada 12.112.500 keluarga
yang harus keluar dari sektor pertanian.Untuk itu harus tersedia lapangan kerja
diluar sector pertanian bagi 12,112.500 kepala keluarga itu.Ketua Bappenas memproyeksikan sampai
dengan tahun 2014 akan tercipta 9,4 juta lapangan kerja, yang meliputi sektor
industri sebesar 4.731.770, dan kegiatan pendukung untuk sektor infrastruktur
sebesar 4.975.400.Namun
sektor itu tidak dapat serta-merta menyerap “mantan” petani gurem itu
karena memerlukan syarat khusus yang belum tentu dapat dipenuhi. (d). Menegakkan kedulatan pangan.Hal yang sangat urgen dari kedaulatan pangan adalah ketersediaan dan keterjangkauan pangan bagi seluruh masyarakat seperti yang
diamanatkan pada UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Ketersediaan
dan keterjangkauan menjadi tanggungjawab pemerintah melalui kepiawaian dan
kebijakannya dalam melakukan produksi dan pengaturan distribusi. Bukan dengan
cara-cara “memaksa” petani kecil memproduksi beras dengan mengabaikan
pendapatannya yang rendah dan hidup dibawah kewajaran.
Perubahan
pola penggunaan lahan pertanian sawah.
Lahan
pertanian sawah kita terdiri dari dari lahan datar dan lahan berteras.Dalam
rangka peningkatan produktifitas padi sekaligus peningkatan pendapatan petani,
perlu ada perubahan besar dan cepat (revolusi) penggunaan lahan sawah.Diperkirakan lahan sawah datar dan
berteras dengan kemiringan kurang dari 5% berjumlah 60% dari sawah yang ada
atau seluas 4,1 juta ha. Saat ini penggunaan lahan sawah diberbagai kawasan,
apapun kondisinya didominasi oleh padi yang secara usahatani “kurang
menguntungkan” petani.
Konsep yang lebih “masuk akal” dalam
pemanfaatan lahan sawah perlu diperkenalkan kepada semua pihak. Sawah datar hingga
kemiringan kurang dari 5%, beriirigasi
teknis, layak untuk budidaya padi 2 (dua) kali setahun, dan
sekali untuk palawija Kedelai/Jagung/Kacang2an.
Belum ada data yang akurat, sehingga perlu akurasi data. Diperkirakan
luasnya sekitar 3 juta ha.Budidaya
dilaksanakan dengan paket teknologi spesifik disetiap kawasan yang memiliki
agroklimat sama, menggunakan mekanisasi penuh mulai dari pengolahan tanah,
penanaman hingga panen dan pasca panen.Sasaran produktifitas rata-rata 6,5 ton
GKP atau 3,5 ton beras/ha, sehingga akan diperoleh produksi : 2 x 4,1 juta ha x
3,5 ton beras = 28,7 juta ton beras/tahun.
Lahan
sawah berteras dengan kemiringan lebih dari 5% jumlahnya diperkirakan sebesar
40% atau 2,7 juta ha. Lahan seperti ini hingga dataran tinggi, tidak layak untuk komoditi padi, karena tidak
dapat dilaksanakan mekanisasi secara penuh sehingga produksi sulit ditingkatkan
dan petani kecil yang mengelola akan “terus miskin”. Komoditi yang layak untuk
tanah miring adalah hortikultura (buah dan sayur)
dikombinasi dengan ternak sapi potong, kambing/domba dan atau komoditi perkebunan
yang terintegrasi dengan industri pengolahan. Jenis
komoditi buah yang direkomendasi adalah jenis yang diorientasikan untuk menekan
import seperti Klengkeng, Durian, Jeruk, Anggur dan 9 jenis buah lain yang
masih import. Jenis buah lain seperti Manggis, Mangga dan lainnya yang
berpotensi eksport juga dikembangkan dilahan miring dan petani kecil. Dengan mengusahakan buah seperti Klengkeng,
Durian atau buah lain
sesuai potensi pasar, dikombinasi dengan beternak sapi potong atau ternak
lain, petani yang memiliki lahan 0,3 ha,
tiga tahun setelah program dimulai, pendapatan petani mencapai lebih dari Rp3,5
juta/bulan. Pada tahun ke-9 pendapatannya dapat mencapai Rp 8,5
juta/bulan. Ini artinya mereka sudah tidak miskin.
Untuk
menutup kekurangan produksi beras yang diusahakan petani dataran rendah sebesar
9.855.000 ton, pemerintah harus melakukan langkah-langkah revolusioner dengan
menugaskan BUMN menanam padi dan memproduksi beras. Pertimbangannya, BUMN adalah perusahaan pemerintah.
Sesuai dengan amanat UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pemerintah
berkewajiban menyediakan pangan yang layak dan terjangkau. Artinya, ada jaminan
ketersediaan dan keterjangkauan bagi masyarakat konsumen. Namun, pemerintah
juga memiliki kewajiban meningkatkan pendapatan masyarakat tani agat tidak miskin.
BUMN layak memikul tanggungjawab dan tugas itu.Lahan “rice estate”dilahan pertanian yang masih potensial untuk dibuka
menjadi sawah yang luasnya masih 6,4 juta hektar (BPS), sebagian besar
ada diluar Jawa. Kawasan yang potensial untuk sawah itu diantaranya ada di
Papua, sehingga akan menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi didaerah Indonesia
timur. Pelaksanaan “rice estate”menggunakan pola pertanian modern yang seluruhnya
berteknologi, mekanisasi, efisien dan produktifitas tinggi minimal 4,5 ton
beras/ha. Untuk memperoleh produksi 9.855.000 ton, perlu dibuka lahan “rice estate”seluas 616.000 ha pada
lahan baru.Selain BUMN, daerah menugaskan BUMD memproduksi beras.
Gudang Beras dan
Cadangan Pangan.
Cadangan pangan
diperlukan karena Indonesia masih menganut pola produksi musiman. Ada Panen
raya ada panen kecil atau paceklik. Sementara orang makan (beras) berlangsung
sepanjang tahun. Ada dua pola cadangan pangan yang harus dibangun agar
kebutuhan pangan dapat terpenuhi tanpa harus timbul gejolak. 1). Gudang petani.Beras
diproduksi dan berada ditangan petani, petani juga konsumen beras. Disetiap
desa perlu dibangun “gudang beras” atau “lumbung pangan” yang berfungsi
menampung beras petani saat panen, dan mengeluarkannya atau mendistribusikannya
kemasyarakat konsumen sesuai dengan kebutuhan.Gudang beras/lumbung pangan
dikelola oleh BUMDesa. Dipasok kepasar eceran sehingga petani memperoleh harga
lebih baik.Selama petani menyimpan berasnya di lumbung pangan, kebutuhan
finansial petani dicukupi lebih dulu oleh lembaga keuangan yang dibentuk oleh
BUMDesa. Hingga saatnya beras dijual, diperhitungkan dan dikuraangi dengan
“uang muka” yang telah diterima petani.2). Gudang pemerintah.Gudang pemerintah
dibangun oleh pemerintah pusat sebagai cadangan pangan nasional dan pemerintah
daerah sebagai cadangan panangan daerah.Gudang pemerintah diisi sebagai
cadangan pangan untu disalurkan kekonsumen sesuai dengan kebutuhan secara
teratur.Gudang pemerintah pusat diisi dengan produksi beras BUMN dan BUMD
mengisi gudang cadangan pemerintah daerah. Distribusi beras gudang milik
pemerintah dilakukan saat harga beras dipasar mengalami harga tinggi diatas
batas kewajaran.
Peningkatan pendapatan petani dan kedaulatan pangan, khususnya
swasembada beras adalah dua hal yang sama pentingnya. Peningkatan produksi
beras dalam rangka swasembada tidak boleh mengorbankan petani. Dalam rangka
meningkatkan pendapatan petani dan kemandirian pangan, produksi padi petani diprioritaskan
dilahan sawah dataran rendah. Sementara lahan pertanian dilahan miring
difokuskan untuk produksi hortikultura dan ternak yang memiliki tingkat
pendapatan lebih baik.
Peran
BUMN dan BUMD dalam memproduksi beras menjadi penting dalam rangka memenuhi
kebutuhan beras nasional, sekaligus menghindari petani kecil terus dalam
keadaan miskin karena menanam padi. Sekiranya produksi beras oleh BUMN di
Indonesia timur seperti di Papua dapat segera dimulai, dalam dua-tiga tahun
kedepan tentu produksi sudah mampu menutup kebutuhan
nasional. Pada lahan yang sama, mestinya juga dapat dikembangkan Kedelai yang
butuh peningkatan produksi untuk menekan import. Multiplier effeect lain dari pengembangan sentra produksi beras dan
kedelai di Indonesia timur adalah hidupnya jasa transport laut dari Indonesia
timur kebarat yang selama ini kurang muatan, sehingga menjadi mahal.
Petani
kecil sebaiknya diarahkan mulai fokus untuk usahatani hortikultura, peternakan
dan perkebunan yang dikelola dengan pola usahatani terpadu kawasan, agar petani
kecil meningkat pendapatannya. Komoditi hortikultura yang sebagian bersifat
mudah rusak (perishable) harus
diusahakan berkoneksi dengan pasar, sehingga yang diproduksi sesuai dengan
kebutuhan pasar, menyangkut jumlah setiap hari, jenis dan mutunya. Dikawasan
hortikultura juga memungkinkan dibuka industri pengolahan yang selamam ini
belum tumbuh. Komoditi hortikultura dan ternak harus diusahakan dalam rangka
menekan import. Itu semua merupakan
jalan terbaik dalam rangka mencapai kedaulatan pangan, peningkatan pendapatan
masyarakat petani dan kesejahteraan masyarakat.
Jakarta, 16 Mei
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar