Kamis, 21 Mei 2015

“Beras Plastik” ...?


Saat para petani di desa Madukoro – Kajoran – Magelang giat mengembangkan padi organik, yang dianggap menjadi salah satu cara meningkatkan pendapatan “petani gurem”, muncul isue adanya beras palsu atau lebih populer disebut dengan “beras plastik”.


Bagi yang mengalami hidup pada tahun 60-an, saat Indonesia dilanda kekurangan pangan hebat, pernah ada bahan pangan bernama “bulgur”. Bulgur, kabarnya berasal dari Amerika yang terbuat dari umbi-umbian yang dibentuk pril panjang, namun tidak berbentuk seperti beras. Dinegara asalnya, kabarnya bulgur adalah makanan ternak. Namun di Indonesia yang saat itu terlanda paceklik pangan hebat, bulgur menjadi bahan pangan rakyat. Dari segi kesehatan dan gizi, sebenarnya bulgur tidak berbahaya bila dikonsumsi manusia, namun karena status sosialnya bersifat “inferior” (makanan orang miskin), memakan bulgur dianggap sebagai sebuah peristiwa yang menyedihkan. Secara sosial, bulgur sama dengan “tiwul” dikalangan masyarakat Indonesia.

Munculnya kabar adanya beras palsu yang tersiar akhir-akhir ini masuk ke Indonesia, sebenarnya bukan karena Indonesia mengalami paceklik pangan seperti tahun 60-an. Masalahnya bukan karena beras palsu memiliki status sosial inferior, tetapi lebih karena dampak buruknya terhadap kesehatan bagi orang yang mengkonsumsinya. Kabarnya beras palsu itu dibuat oleh salah satu negara di Asia yang paling kuat ekonoominya didunia dan telah banyak produk pangan maupun non pangan masuk di Indonesia. Kabar berikutnya, bahan baku pembuat beras palsu itu adalah beberapa jenis palawija seperti ubi-ubian dan plastik sebagai bahan tambahannya. Itulah maka beras palsu itu lalu populer disebut sebagai “beras plastik”. Bentuk dan penampilan beras plastik itu tidak seperti bulgur, tetapi sama persis dengan beras, sehingga orang tidak akan tahu kalau itu beras palsu.Kalau dicermati, beras palsu itu mmemang agak aneh karena sangat sedikit atau bahkan tidak ada yang patah. Informasi berikutnya, beras itu bentuknya sama dengan beras asli, lebih cerah dan harganya murah. Digambarkan bahwa, kalau kita mengonsumsi sepiring nasi beras palsu itu, maka sama dengan mengkonsumsi plastik sebanyak satu tas kresek!!. Dampaknya apabila mengonsumsi nasi dari beras plastik itu terjadi, tentu berakibat buruk terhadap tubuh manusia karena menimbulkan banyak penyakit yang sulit disembuhkan. Mengerikan.

Lebih lanjut, kabar dari kawan itu menyatakan bahwa ada indikasi beras plastik itu sudah pernah masuk ke Indonesia. Berdasarkan informasi itu, bisa dibayangkan  bahwa, di Indonesia tentu beras itu sasaran pasarnya adalah konsumen klas bawah yang selalu menghendaki beras murah. Apalagi beras murah yang dipasarkan selama ini mutunya buruk, sehingga kalau ada beras murah yang mutu fisiknya nampak lebih baik, tentu akan menarik perhatian pembeli. Mungkin masuknya beras palsu itu ke Indonesia secara resmi belum terdeteksi. Namun semua tahu bahwa banyak jalur tidak resmi yang dapat ditembus oleh para penjahat ekonomi untuk memasukkan produknya ke Indonesia. Selain itu, melihat perilaku para pelaku bisnis pangan di Indonesia yang sebagian masih buruk dalam penanganan pangan akhir-akhir ini, issue beras plastik yang membahayakan kesehatan ini patut diwaspadai. Beberapa kasus pencampuran bahan pangan berbahaya akhir-akhir ini diantaranya adalah penggunaan formalin pada beberapa produk olahan ikan asin, formalin untuk menyemprot kulit buah, borak pada bakso, es batu berbakteri, penggunaan pupuk urea/ZA pada nata decoco dan banyak lagi kasus, hingga pencampuran narkoba kedalam roti, menggambarkan betapa besarnya bahaya yang dihadapi konsumen. Kasus lain seperti masuknya daging babi hutan/celeng kepasar-pasar Jakarta dan kota di Jawa lain, menjadi pertanda bahwa banyak pelaku pasar yang tidak bermoral dan menghalalkan segala cara berbahaya, hanya sekedar untuk mencari untung.  Hingga saat ini belum ada keterangan resmi dari pemerintah menyangkut issue beras palsu itu.

Potret produksi beras nasional.

Beras merupakan makanan pokok sebagian masyarakat  Indonesia. Saat ini kebutuhan beras masyarakat Indonesia sebesar 316 gram / kapita / hari atau 115,34 kg / kapita /tahun.  Untuk tahun 2015 ini, dengan jumlah penduduk 247,572,400 jiwa, maka kebutuhan beras kita sebesar 28,555,000 ton. Dengan ditambah cadangan sebesar 10 juta ton, maka kebutuhan beras nasional kita menjadi sebesar 38.555.000 ton pada tahun 2015.

Areal pertanaman padi kita seluas 13.500.000 ha pertahun. Dengan produktifitas 5,4 ton/ha gabah kering panen (GKP) atau beras 2,81 ton/ha, maka produksi beras kita saat ini adalah 37.900.000 ton/tahun.

Dari posisi kebutuhan dan produksi itu, maka hingga saat ini kita masih kekurangan (defisit) beras sebesar 655 ribu ton. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk yang diprediksi sebesar 1,5%/tahun, maka kebutuhan berasakan terus bertambah lebih dari 578 ribu ton/tahun, sehingga harus ada peningkatan produksi lebih dari 1,233 juta atau dibulatkan menjadi 1,25 juta ton/tahun.
Untuk peningkatan produksi 1,25 juta/tahun itu, maka perlu ada peningkatan produktifitas padi di 13.500.000 ha, sebesar 92,6 kg atau dibulatkan menjadi 100 kg/ha. Peningkatan yang tidak terlalu besar untuk saat ini. Namun kalau peningkatan penduduk dan kebutuhanberas terus bertambah setiap tahunnya, maka hingga lima tahun kedepan (2019), produktifitas padi kita harus bertambah 0,5 ton/ha menjadi 5,9 ton/ha (GKP). Upaya yang harus dilakukan adalah adanya strategi pengembangan padi dan perbaikan teknologi budidaya yang diterapkan petani dan melengkapinya dengan prasarana dan sarana produksi yang diperlukan.

Situasi itulah yang agaknya memancing masuknya beras palsu ke Indonesia. Dari imbangan produksi dan kebutuhan, sebenarnya Indonesia sudah surplus. Namun karena ditambah dengan cadangan pemerintah sebesar 10 juta ton, maka kebutuhan nasional beras menjadi kurang atau minus. Ini yang mesti dikaji kembali, hingga tidak harus memaksakan untuk melegalisir melakukan import, atau merangsang masuknya beras import.

Potret usahatani padi

Analisa usaha tani padi setiap hektar dari beberapa daerah situasinya adalah, biaya budidaya olah tanah hingga panen Rp14.696.167,- dibulatkan menjadi : Rp14.700.000,-. Hasil panen berupa beras 2.810.000 kg  dijual dengan harga Rp7.600,-/kg, maka hasil kotornya Rp 21.356.000,-. Laba petani tiap hektar (selama 4 bulan) sebesar  Rp6.656.000,-, sehingga laba petani tiap bulan, per hektar, Rp6.656.000,- : 4 = Rp1.664.000,-.

Kalau rata-rata pemilikan / garapan petani kita adalah 0,3 ha/rumah tangga, sehingga dengan menanam padi, rata-rata pendapatan keluarga petani adalah : 0.3 ha x Rp1.664.000,- =   Rp 499.200,-/bulan. Berdasarkan data yang dikeluarkan BPS tahun 2013, bahwa sebuah keluarga kecil dengan anggota 4 orang, untuk hidup wajar, dibutuhkan biaya minimal Rp 3,2 juta/bulan didesa/kota kecil; Rp5,6 juta/bulan dikota sedang dan Rp7,5 juta/bulan dikota besar.

Dari analisa diatas, posisi petani padi yang yang selama ini menjadi “mesin produksi” beras sangat menyedihkan. Petani yang memiliki lahan 1 ha saja, pendapatan bersih mereka hanya Rp1,66 juta/bulan, atau hanya 50% dari biaya hidup minimal paling rendah setiap bulan yang dikeluarkan BPS.  Akibatnya konsumsi mereka tidak wajar atau seadanya yang menyebabkan keluarga mereka, anak-anak mereka, kekurangangizi. Mereka juga sangat kesulitan untuk membiayai pendidikan yang lebih baik bagi anak-anaknya. Bagi petani yang rata-rata pemilikan lahannya 0,3 ha/keluarga, jauh lebih menyedihkan lagi. Karena pendapatan bersih mereka hanya Rp499.200,-/bulan, atau 15,6% dari biaya hidup minimal paling rendah setiap bulan yang dikeluarkan BPS, maka mereka pasti kondisinya jauh lebih buruk dari petani yang memiliki lahan 1 ha.

Biasanya import beras dilakukan karena harga beras dipasar naik. Namun kalau dikaji secara usahatani, sebenarnya harga jual beras dipetani sebaiknya minimal Rp8.000,-/kg, sehingga harga ecerannya menjadi sekitar Rp10.000,-/kg.

Menghadapi adanya issue beras palsu.

Menanggapi issue buruk itu, ada banyak hikmah yang dapat diambil khususnya bagi para konsumen setia beras. Ada kemungkinan issue itu benar atau tidak benar. Bagi kita, sebaiknya berusaha mencari aman dengan bersikap atau menganggap issue itu benar, sehingga dapat melaukan perbaikan dan sikap, baik bagi produsen beras maupun para konsumen.  Beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh para konsumen dan pelaku bisnis beras Indonesia.

Bagi produsen beras, saat ini kesempatan yang baik menata produsen beras berbasis desa dari hulu hingga hilir. Petani padi, sebaiknya tidak lagi menjual padi disawah atau “tebasan”, tetapi mengolah padi menjadi beras dan menjual dalam bentuk beras kemasan. Saat ini pemerintah, melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah tertinggal dan Transmigrasi sedang membenahi pembangunan perdesaan yang tujuan utamanya peningkatan pendapatan petani dan kesejahteraan rakyat. Untuk itu maka kegiatan utamanya adalah pembangunan ekonomi berbasis pertanian. Untuk program itu, pemerintah memperkuat dsa dengan UU No 6 tahun 2015 tentang Desa. Dengan undang-undang itu, desa didorong menjadi pelaku utama pembangunan ekonomi dengan membentuk badan usaha bernama Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa). Didalam BUMDesa, desa diharap membuka cabang-cabang usaha produksi pertanian mulai dari pengusahaan benih/bibit, pupuk, mengelola budidaya, pengolahan hasil hingga pemasarannya. Dengan cara itu, didesa akan tercipta lapangan kerja yang banyak dan banyak nilai tambah atau keuntungan dari berbagai usaha itu. Beras, sebagai salah satu produk pangan pokok, diharap ditangani oleh BUMDesa secara serius, sehingga petani desa tidak lagi menjual padi, tetapi menjual beras berkemasan cantik, berlabel dan berjaminan mutu. Pasarnya, BUMDesa dapat menembus kekelompok masyarakat disentra konsumen langsung, kepasar modern dan para pengguna beras seperti hotel, restoran dan katering serta komplek-omplek perumahan dikota. BUMDesa juga harus mampu memasok produk beras berjaminan kepengecer-pengecer dengan kemasan bervariasi beratnya sesuai dengan kebutuhan konsumen.

Bagi konsumen, sebaiknya tidak membeli beras kepasar eceran yang tidak jelas sumber produsennya. Konsumen sebaiknya hanya membeli beras pada pengecer yang menjual berasnya dengan jaminan mutu dan sumber produsen yang jelas. Atau berhubungan langsung dengan BUMDesa.

Soekam Parwadi
Pasar Komoditi Nasional (Paskomnas) Indonesia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar