Bagi
yang mengalami hidup pada tahun 60-an, saat Indonesia dilanda kekurangan pangan
hebat, pernah ada bahan pangan bernama “bulgur”. Bulgur, kabarnya berasal dari
Amerika yang terbuat dari umbi-umbian yang dibentuk pril panjang, namun tidak
berbentuk seperti beras. Dinegara asalnya, kabarnya bulgur adalah makanan
ternak. Namun di Indonesia yang saat itu terlanda paceklik pangan hebat, bulgur
menjadi bahan pangan rakyat. Dari segi kesehatan dan gizi, sebenarnya bulgur
tidak berbahaya bila dikonsumsi manusia, namun karena status sosialnya bersifat
“inferior” (makanan orang miskin), memakan bulgur dianggap sebagai sebuah
peristiwa yang menyedihkan. Secara sosial, bulgur sama dengan “tiwul”
dikalangan masyarakat Indonesia.
Munculnya
kabar adanya beras palsu yang tersiar akhir-akhir ini masuk ke Indonesia,
sebenarnya bukan karena Indonesia mengalami paceklik pangan seperti tahun
60-an. Masalahnya bukan karena beras palsu memiliki status sosial inferior,
tetapi lebih karena dampak buruknya terhadap kesehatan bagi orang yang
mengkonsumsinya. Kabarnya beras palsu itu dibuat oleh salah satu negara di Asia
yang paling kuat ekonoominya didunia dan telah banyak produk pangan maupun non
pangan masuk di Indonesia. Kabar berikutnya, bahan baku pembuat beras palsu itu
adalah beberapa jenis palawija seperti ubi-ubian dan plastik sebagai bahan
tambahannya. Itulah maka beras palsu itu lalu populer disebut sebagai “beras
plastik”. Bentuk dan penampilan beras plastik itu tidak seperti bulgur, tetapi
sama persis dengan beras, sehingga orang tidak akan tahu kalau itu beras
palsu.Kalau dicermati, beras palsu itu mmemang agak aneh karena sangat sedikit
atau bahkan tidak ada yang patah. Informasi berikutnya, beras itu bentuknya
sama dengan beras asli, lebih cerah dan harganya murah. Digambarkan bahwa,
kalau kita mengonsumsi sepiring nasi beras palsu itu, maka sama dengan
mengkonsumsi plastik sebanyak satu tas kresek!!. Dampaknya apabila mengonsumsi
nasi dari beras plastik itu terjadi, tentu berakibat buruk terhadap tubuh
manusia karena menimbulkan banyak penyakit yang sulit disembuhkan. Mengerikan.
Lebih
lanjut, kabar dari kawan itu menyatakan bahwa ada indikasi beras plastik itu
sudah pernah masuk ke Indonesia. Berdasarkan informasi itu, bisa
dibayangkan bahwa, di Indonesia tentu
beras itu sasaran pasarnya adalah konsumen klas bawah yang selalu menghendaki
beras murah. Apalagi beras murah yang dipasarkan selama ini mutunya buruk,
sehingga kalau ada beras murah yang mutu fisiknya nampak lebih baik, tentu akan
menarik perhatian pembeli. Mungkin masuknya beras palsu itu ke Indonesia secara
resmi belum terdeteksi. Namun semua tahu bahwa banyak jalur tidak resmi yang
dapat ditembus oleh para penjahat ekonomi untuk memasukkan produknya ke
Indonesia. Selain itu, melihat perilaku para pelaku bisnis pangan di Indonesia
yang sebagian masih buruk dalam penanganan pangan akhir-akhir ini, issue beras
plastik yang membahayakan kesehatan ini patut diwaspadai. Beberapa kasus pencampuran
bahan pangan berbahaya akhir-akhir ini diantaranya adalah penggunaan formalin
pada beberapa produk olahan ikan asin, formalin untuk menyemprot kulit buah,
borak pada bakso, es batu berbakteri, penggunaan pupuk urea/ZA pada nata decoco
dan banyak lagi kasus, hingga pencampuran narkoba kedalam roti, menggambarkan
betapa besarnya bahaya yang dihadapi konsumen. Kasus lain seperti masuknya
daging babi hutan/celeng kepasar-pasar Jakarta dan kota di Jawa lain, menjadi
pertanda bahwa banyak pelaku pasar yang tidak bermoral dan menghalalkan segala
cara berbahaya, hanya sekedar untuk mencari untung. Hingga saat ini belum ada keterangan resmi
dari pemerintah menyangkut issue beras palsu itu.
Potret produksi beras nasional.
Beras merupakan makanan pokok sebagian masyarakat Indonesia. Saat ini kebutuhan beras masyarakat
Indonesia sebesar 316 gram / kapita / hari atau 115,34 kg / kapita /tahun. Untuk tahun 2015 ini, dengan jumlah penduduk
247,572,400 jiwa, maka kebutuhan beras kita sebesar 28,555,000 ton.
Dengan ditambah cadangan sebesar 10 juta ton,
maka kebutuhan beras nasional kita menjadi sebesar 38.555.000 ton pada tahun 2015.
Areal
pertanaman padi kita seluas 13.500.000 ha pertahun. Dengan produktifitas 5,4 ton/ha
gabah kering panen (GKP) atau beras 2,81 ton/ha,
maka produksi beras kita saat ini adalah 37.900.000 ton/tahun.
Dari
posisi kebutuhan dan produksi itu, maka hingga saat ini kita masih kekurangan (defisit)
beras sebesar 655 ribu ton. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk yang
diprediksi sebesar 1,5%/tahun, maka kebutuhan berasakan terus bertambah lebih dari 578
ribu ton/tahun, sehingga harus ada peningkatan produksi lebih dari 1,233
juta atau dibulatkan menjadi 1,25 juta ton/tahun.
Untuk peningkatan produksi
1,25 juta/tahun itu, maka perlu ada peningkatan produktifitas padi di 13.500.000 ha,
sebesar 92,6 kg atau dibulatkan menjadi 100 kg/ha. Peningkatan yang
tidak terlalu besar untuk saat ini. Namun kalau peningkatan penduduk dan
kebutuhanberas terus bertambah setiap tahunnya, maka hingga lima tahun kedepan
(2019), produktifitas padi kita harus bertambah 0,5 ton/ha menjadi 5,9 ton/ha (GKP).
Upaya yang harus dilakukan adalah adanya strategi pengembangan padi dan
perbaikan teknologi budidaya yang diterapkan petani dan melengkapinya dengan
prasarana dan sarana produksi yang diperlukan.
Situasi
itulah yang agaknya memancing masuknya beras palsu ke Indonesia. Dari imbangan
produksi dan kebutuhan, sebenarnya Indonesia sudah surplus. Namun karena
ditambah dengan cadangan pemerintah sebesar 10 juta ton, maka kebutuhan
nasional beras menjadi kurang atau minus. Ini yang mesti dikaji kembali, hingga
tidak harus memaksakan untuk melegalisir melakukan import, atau merangsang
masuknya beras import.
Potret usahatani padi
Analisa
usaha tani padi setiap hektar dari
beberapa daerah situasinya adalah, biaya budidaya olah tanah hingga panen
Rp14.696.167,- dibulatkan menjadi : Rp14.700.000,-. Hasil panen berupa beras
2.810.000 kg dijual dengan harga
Rp7.600,-/kg, maka hasil kotornya Rp 21.356.000,-. Laba petani tiap hektar
(selama 4 bulan) sebesar Rp6.656.000,-,
sehingga laba petani tiap bulan, per
hektar, Rp6.656.000,- : 4 =
Rp1.664.000,-.
Kalau
rata-rata pemilikan / garapan petani kita adalah 0,3 ha/rumah tangga,
sehingga dengan menanam padi, rata-rata pendapatan keluarga petani adalah : 0.3 ha x
Rp1.664.000,- = Rp 499.200,-/bulan. Berdasarkan data
yang dikeluarkan BPS tahun 2013, bahwa sebuah keluarga kecil dengan anggota 4
orang, untuk hidup wajar, dibutuhkan biaya minimal Rp 3,2
juta/bulan didesa/kota kecil; Rp5,6 juta/bulan dikota sedang dan Rp7,5
juta/bulan dikota besar.
Dari
analisa diatas, posisi petani padi yang yang selama ini menjadi “mesin produksi”
beras sangat menyedihkan. Petani yang memiliki lahan 1 ha saja, pendapatan bersih
mereka hanya Rp1,66 juta/bulan, atau hanya 50% dari biaya hidup minimal paling
rendah setiap bulan yang dikeluarkan BPS.
Akibatnya konsumsi mereka tidak wajar atau seadanya yang
menyebabkan keluarga mereka, anak-anak mereka, kekurangangizi.
Mereka juga sangat kesulitan untuk membiayai pendidikan yang lebih baik bagi
anak-anaknya. Bagi petani yang rata-rata pemilikan lahannya 0,3 ha/keluarga,
jauh lebih menyedihkan lagi. Karena pendapatan bersih mereka hanya
Rp499.200,-/bulan, atau 15,6% dari biaya hidup minimal paling rendah setiap bulan
yang dikeluarkan BPS, maka mereka pasti kondisinya jauh lebih buruk dari petani yang
memiliki lahan 1 ha.
Biasanya
import beras dilakukan karena harga beras dipasar naik. Namun kalau dikaji
secara usahatani, sebenarnya harga jual beras dipetani sebaiknya minimal
Rp8.000,-/kg, sehingga harga ecerannya menjadi sekitar Rp10.000,-/kg.
Menghadapi adanya issue beras palsu.
Menanggapi
issue buruk itu, ada banyak hikmah yang dapat diambil khususnya bagi para
konsumen setia beras. Ada kemungkinan issue itu benar atau tidak benar. Bagi
kita, sebaiknya berusaha mencari aman dengan bersikap atau menganggap issue itu
benar, sehingga dapat melaukan perbaikan dan sikap, baik bagi produsen beras
maupun para konsumen. Beberapa langkah
yang perlu dilakukan oleh para konsumen dan pelaku bisnis beras Indonesia.
Bagi
produsen beras, saat ini kesempatan yang baik menata produsen beras berbasis
desa dari hulu hingga hilir. Petani padi, sebaiknya tidak lagi menjual padi
disawah atau “tebasan”, tetapi mengolah padi menjadi beras dan menjual dalam
bentuk beras kemasan. Saat ini pemerintah, melalui Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah tertinggal dan Transmigrasi sedang membenahi pembangunan
perdesaan yang tujuan utamanya peningkatan pendapatan petani dan kesejahteraan
rakyat. Untuk itu maka kegiatan utamanya adalah pembangunan ekonomi berbasis
pertanian. Untuk program itu, pemerintah memperkuat dsa dengan UU No 6 tahun
2015 tentang Desa. Dengan undang-undang itu, desa didorong menjadi pelaku utama
pembangunan ekonomi dengan membentuk badan usaha bernama Badan Usaha Milik Desa
(BUMDesa). Didalam BUMDesa, desa diharap membuka cabang-cabang usaha produksi
pertanian mulai dari pengusahaan benih/bibit, pupuk, mengelola budidaya,
pengolahan hasil hingga pemasarannya. Dengan cara itu, didesa akan tercipta
lapangan kerja yang banyak dan banyak nilai tambah atau keuntungan dari
berbagai usaha itu. Beras, sebagai salah satu produk pangan pokok, diharap
ditangani oleh BUMDesa secara serius, sehingga petani desa tidak lagi menjual
padi, tetapi menjual beras berkemasan cantik, berlabel dan berjaminan mutu.
Pasarnya, BUMDesa dapat menembus kekelompok masyarakat disentra konsumen
langsung, kepasar modern dan para pengguna beras seperti hotel, restoran dan
katering serta komplek-omplek perumahan dikota. BUMDesa juga harus mampu
memasok produk beras berjaminan kepengecer-pengecer dengan kemasan bervariasi
beratnya sesuai dengan kebutuhan konsumen.
Bagi konsumen, sebaiknya tidak membeli beras kepasar eceran yang tidak jelas sumber produsennya.
Konsumen sebaiknya hanya membeli beras pada pengecer yang menjual berasnya
dengan jaminan mutu dan sumber produsen yang jelas. Atau berhubungan langsung
dengan BUMDesa.
Soekam Parwadi
Pasar
Komoditi Nasional (Paskomnas) Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar